Sabtu, 24 Oktober 2015

SIASAT PERANG DALAM KAKAWIN BHARATA-YUDHA 1 Oleh : Prof. Dr. R.M. Sucipto Wirjosuparto

Sri Kresna Ahli Siasat Perang

ILMU SIASAT PERANG DALAM KAKAWIN BHARATA-YUDHA 1
Oleh : Prof. Dr. R.M. Sucipto Wirjosuparto

Pada waktu bangsa Indonesia mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda dalam perang kolonial, seperti pada waktu perlawanan Sultan Hasanuddin dari Makasar, Pangeran Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengku Buwana I), Perang Dipanegara, Perang Padri, Perang Aceh dan lain-lainnya melawan Belanda, siasat perang bangsa Indonesia telah mengejutkan pihak lawan, karena tidak disangka oleh pihak penjajahBelanda, bahwa bangsa Indonesia memiliki akal yang cerdas untuk menghadapi seranga musuh dalam pertempuran kecil, khususnya dalam perang gerilya 1), seperti  yang telah diuraikan oleh Jendral A.H. Nasution. dijelaskan nasution.  A.H.  NASUTION.  Sekalipun perang gerilya merupakan perang yang Hebat dan memeras otak dari pihak yang mengadakan gerilya, perang ini secara sendiri belum dapat memberi pukulan terakhir kepada musuh, karena kemenangan terakhir hanya bisa tercapai dengan tentara yang teratur dengan serangan-serangan yang berbentuk frontal dan perang kecil.

Karena perang melawan musuh itu dalam sejarah tidak hanya merupakan perang fisik-militer, akan tetapi juga merupakan perang diplomasi, politik, psychologis dan sosial-ekonomis, tibullah pertanyaan darimana gerangan bangsa Indonesia itu mempelajari siasat perang, apabila mereka itu dalam sejarah mengadakan perang frontal dan gerilya terhadap angkatan perang Belanda.  Dengan perkataan lain, disamping adanya faktor semangat menyala-nyala untuk mempertahankan setiap jengkal tanah dari serangan luar dari pihak manapun juga, pastilah bangsa Indonesia itu memiliki kitab-kitab mengenai siasat perang yang bersifat khusus atau terselip dalam beberapa kitab kesusasteraan.

Apabila dikatakan, bahwa kitab kesusasteraan itu menjadi dasar pengetahuan siasat perang, hal itu memang benar, karena pada zaman kuno belum ada lembaga pendidikan seperti pada waktu sekarang, segala macam pendidikan itu diambil dari isi kitab kesusasteraan yang diberi penafsiran sesuai dengan il,u yang diajarkan, seperti moralitas, ilmu negara, ilmu hukum, ilmu siasat perang dan sebagainya.  Sudah barang tentu, karena ajaran-ajaran tersebut tidak disusun secara sistematis, dibawah pimpinan seorang guru otak setiap pelajar pada waktu yang lampau dilatih berdasarkan atas kitab-kitab kesusasteraan mengenai sesuatu mata pelajaran dan mencari kesimpulan sendiri dan apa yang diajarkan.

Dari kesusasteraan Indonesia kuno ada beberapa bukti, bahwa Indonesia itu telah mengenal siasat perang.  Suatu pengertian siasat perang yang penting diketemukan dalam kitab kakawin Arjuna-wiwaha dari abad 11 dan kitab Nitisastra dari abad 14 dan sekitarnya, keduanya dalam bahasa Jawa kuno yang masing-masing memuat istilah sama-bheda-ddanndda .  pengertian siasat perang  dalam kesusateraan Jawa kuno itu diambil dari kesusateraan India, ialah dari kitab Arthasastra ciptaan Kauttilya dalam bahasa sansekerta, ialah kitab yang mengajarkan tentang pengetahuan politik, termasuk politik menghancurkan musuh.  Kitab ini rupanya menjadi kitab pegangan dalam lapangan ilmu politik yang dikerjakan oleh keluarga raja-raja Gupta yang pernah mempersatukan sebagian besar India.

Menurut ajaran sama-bedha-ddanndda dirumuskan, bahwa setiap kepala negara yang ingin membinasakan lawannya wajib mencari sekutu (sama) di antara negara-negara yang berhubungan baik.  Telah diperhitungkan, bahwa pada waktu perang dengan negara-negara lain, negara-negara yang telah terikat oleh ‘sama’ itu sedikitnya bersikap  netral, bahkan dapat diharapkan adanya sokongan dan bantuan dari negara-negara tersebur.  Siasat kedua dari ‘sama-bedha-ddanndda’, ialah siasat ‘bheda’ yang berarti memecah belah dan memerintah, yang kurang lebih sama dengan pengertian divide et impera.  Sebab apabila tujuan mengadu domba musuh itu telah tercapai, sampailah waktunya untuk mempraktekkan ‘ddanndda’ atau pukulan, ialah pukulan terakhir kepada musuh yang telah lemah itu.

Karena pengertian sama-bheda-ddanndda disebutkan dalam kitab kakawin Arjunna-wiwaha dan Nitisastra, dijelaskan bahwa siasat perang  sama-bheda-ddanndda itu dikenal dan dipelajari di Indonesia.  Dalam hubungan ini dapat dikatakan, bahwa pengetahuan penggunaan senjata perang itu disebut ‘dhanurweda’ (weda berarti pengetahuan, sedangkan dhanu berarti panah) dan merupakan sebagian dari pengetahuan perang.  Jalan untuk mencapai kemenangan dalam perang dapat diperoleh dengan mempelajari pengetehaun yang dalam kesusateraan Jawa baru disebut pengetahuan ‘jaya-kawijayan’, ialah pengetahuan untuk mendapat kemenangan perang.

Pengetahuan tentang perang dalam bentuk yang agak kongkrit diketemukan dalam beberapa kitab, di antaranya dalam kakawin Bharata-Yudda yang menyebutkan beberapa bentuk wyuha atau susunan tentara, kitab Nitisastra yang membicarakan cara untuk memilih seorang panglima, dan kitab Nagarakrertagama dari zaman Majapahit yang menguraikan bagaimana raja Hayam Wuruk itu mempertontonkan kepandaian tentaranya yang mendemonstrasikan segala macam ulah perang.  Dari berita-berita yang diketemukan dalam beberapa kitab kesusasteraan Jawa kuno dapat ditentukan dengan pasti, bahwa ilmu siasat perang itu telah dikenal, sedikitnya di daerah Jawa, Bali dan Lombok.

Sebaliknya di daerah lainnya di Indonesia juga diketahui bahwa ada beberapa kitab yang menunjukkan adanya beberapa pengertian, bahwa siasat perang itu telah dipelajari di Indonesia.  Di dalam kitab sejarah melayu disebutkan, bahwa pada menjelang malam direbutnya kota Malaka yang diserbu oleh angkatan perang Portugis sejumlah banyak perwira muda yang menginginkan supaya kitab Hikayat Mohammad Hanafiah itu dibacakan dengan tujuan untuk memberi semangat kepada mereka karena di dalam kitab Hikayat Mohammad Hanafiah itu banyak disebutkan tentang siasat perang.  Kitab lain dalam kesusasteraan Indonesia kuno yang juga memuat siasat perang, ialah kitab Hikayat Amir Hamzah.  Seperti diketahui, Amir Hamzah adalah paman Nabi Muhammad s.a.w. dan dalam usahanya ikut meluaskan agama Islam,  Amir Hamzah berperang dengan raja-raja di tanah Arab dan negara lainnya.  Seperti telah diketahui, cerita Hikayat Amir Hamzah yang tumbuh di Indonesia itu melalui kesusasteraan Persia.

Hikayat Amir Hamzah dalam bahasa Melayu itu sedemikian populernya, sehingga melalui Hikayat Amir Hamzah ini disadur suatu cerita baru dalam bahasa Jawa baru pada zaman Mataram Kartasura (kira-kira tahun 1700) dan  terkenal sebagai Serat Menak (Kartasura).  Karena pada waktu  meluasnya agama Islam itu cerita-cerita dari zaman pra-Islam itu agak terdesak, sebagai gantinya tumbuh cerita-cerita Islam yang berpangkal kepada kitab Menak, sehingga R.Ng. Jasadipura ikut menulis menulis cerita Menak dalam bahasa Jawa Baru.  Dengan ini mulai terkenallah tokoh Wong Agung Menak Jayengrana, ialah sebutan Amir Hamzah dalam bahasa Jawa dan pahlawan-pahlawan lainnya seperti Umarmaya, Lamdahur, Hirman, Kelan dan lain-lainnya.

Disebabkan karena menyadur kakawin Bharata-Yudha menjadi Serat Braratayuda Jarwa, R. Ng. Jasadipura telah mengenal sejumlah banyak nama susunan tentara yang dipakai oleh keluarga Pandawa dan Kurawa, cerita Menak dalam bahasa Jawa baru itu ditambah dengan bagian-bagian yang berbentuk serangan secara frontal dan tahu bagaimana caranya menjebak musuh yang menurut cerita itu dilancarkan oleh pasukan-pasukan yang bersembunyi dan siasat ini sangat populer di antara rakyat biasa dengan istilah ‘baris pendem’.  Contoh-contoh lain dapat diambil dari ‘Babad Ganti’ yang mengisahkan perjuangan Mangkubumi yang dikemudian hari bergelar Hamenku Buwana I  melawan Belanda.  Kecuali disebutkan dalam Babad Ganti sendiri, bahwa Pangeran Mangku Bumi itu seorang ahli  siasat perang, kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang Belanda juga mengakui, bahwa Pangeran Mangku Bumi itu sungguh-sungguh seorang “strateeg”, seperti yang ditunjukkan dalam pertempuran yang terjadi di tepi sungai Bogowonto.

Contoh-contoh tentang keahlian bangsa Indonesia untuk berperang dapat ditambahkan lagi dengan mengambil tokoh ‘Pangeran Diponegoro’ yang menggoncangkan kedudukan Pemerintah kolonial Belanda.  Apabila pada waktu dikejar oleh tentara Belanda Pangeran diponegoro itu dapat menyelamatkan diri dengan jalan menceburkan diri ke dalam sungai Progo yang sedang tinggi airnya, tetapi dapat memilih bagian yang dangkal, sedangkan tentara Belanda masuk ke dalam sungai ini di bagian-bagian yang dalam, sehingga terpaksa berenang dengan kuda-kudanya sehingga tidak dapat mengejar  kuda yang dinaiki oleh Pangeran Diponegoro, ini disebabkan karena Pangeran Diponegoro mengenal setiap jengkal tanah yang dipergunakan sebagai ajang bertempur melawan Belanda.  Kemenangan ini juga disebabkan karena pasukan-pasukan Pangeran Diponegoro disuruh menyusun barisan pendem dan dapat menghalau serangan tentara Belanda yang mengejar Pangeran Diponegoro.

Bahwa bangsa Indonesia telah mengenal siasat perang yang juga dimiliki oleh negara-negara besar hal ini telah telah dibuktikan ketika  Sultan Agung bersama tentaranya menyerang benteng kota mengepung Batavia tahun 1628 dengan menggali parit-parit untuk mendekati obyek yang akan direbut dan hal tersebut tentunya telah mengejutkan para serdadu kompeni Belanda.  Berita lainnya yang menunjukkan, bahwa bangsa Indonesia pada abad 17 telah mempunyai organisasi ketentaraan yang disusun rapih dengan tujuan memudahkan pelaksanaan siasat perang disebutkan oleh Dr. De Helen, seorang utusan Belanda yang mengunjungi Karta, ibukota Mataram pada zaman Sultan Agung.  Dikatakan, bahwa apabila ‘gong’ yang ada di empat penjuru di kota ‘Karta’ dipukul, dalam waktu setengah hari dapat dikumpulkan sebanyak 200.000 orang.

Dari berita-berita itu cukuplah terbukti, bahwa rakyat Indonesia pada waktu lampau memang telah mengenal ilmu siasat perang.  Hanya saja tidak diketemukan kitab-kitan yang menguraikan ilmu ini secara metodis dan sistematis.  Seperti telah dikatakan di atas, seandainya dapat diketemukan berita-beritanya, berita-berita itu ada terselip dalam kitab kesusasteraan Indonesia kuno.  Salah satu buah kesusasteraan Indonesia kuno yang sedikit agak metodis membicarakan siasat perang frontal yang disebut ‘wyuha’, ialah kitab ‘Kakawin Bharata-Yuddha’.

Menurut kesusteraan India kuno, kitab ‘Arthasastra karya Kauttilya’ menyebutkan beberapa macam wyuha, antara lain ialah :

1.       Ddanddda wyuha, susunan tentara seperti bentuk alat pemukul,
2.       Bhoga wyuha, susunan tentara seperti ular,
3.       Mannddala wyuha, susunan tentara seperti bentuk lingkaran,
4.       Asamhata wyuha, susunan tentara yang bagian-bagiannya terpisah-pisah,
5.       Pradara wyuha, susunan tentara penggempur musuh,
6.       Ddrddhaka wyuha, susunan tentara dengan sayap dan lambung tertarik ke belakang,
7.       Asahya wyuha, susunan tentara yang tak bisa ditembus,
8.       Garudda wyuha, susunan tentara seperti burung garuda,
9.       Sanjaya wyuha, susunan tentara untuk mencapai kemenangan dan berbentuk busur,
10.   Wijaya wyuha, susunan tentara menyerupai busur dengan bagian busur depan yang menjorok ke muka,
11.   Sthulakarna wyuha, bentuk susunan tentara yang menyerupai telinga besar (karna sthula),
12.   Wiҫalawijaya wyǔha, bentuk susunan tentara yang disebut kemenangan mutlak; susunannya sama dengan sthulakarnna, hanya saja bagian depan disusun dua kali lebih kuat dari sthulakarnna wyuha’
13.   Camǔmukha  wyǔha, bentuk susunan tentara dengan bentuk 2 sayap yang saling berhadapan muka dengan musuh (dalam bahasa sansekerta, camǔ berarti satu kesatuan perang),
14.   Jhashãsya wyǔha, bentuk susunan tentara seperti  camǔmuka, hanya saja sayapnya ditarik ke belakang (jhashãsya berarti muka ikan),
15.   Sǔimukha wyǔha, bentuk susunan tentara yang berujung (muka (mukha) seperti jarum (sǔci)
16.   walaya wyǔha, susunan tentara seperti  Sǔimukha wyǔha, hanya ajabarisannya terdiri 2 lapisan,
17.   ajaya wyǔha, susunan tentara yang tidak terkalahkan,
18.   sarpasari wyǔha, susunan tentara seperti ular (sarpa) yang bergerak (sari),)
19.   gomǔtrika wyǔha, susunan tentara yang berbentuk arah terbuangnya air kencing (mǔtrika) sapi (go),
20.   syandana wyǔha, susunan tentara yang menyerupai kereta (syandana),
21.   godha wyǔha, susunan tentara yang menyerupai buaya (godha),
22.    wâripatantaka wyǔha, susunan tentara sama seperti syandana wyǔha, hanya semua pasukan terdiri dari barisan gajah, kuda dan kereta perang,
23.   Sarwatomukha wyǔha, susunan tentara yang berbentuk lingkaran, sehingga pengertian sayap, lambung dan bagian depan tidak ada lagi; sarwato dari kata sarwata yang berarti seluruh, sedangkan mukha berarti arah,
24.   Sarwatabhadra wyǔha, susunan tentara yang serba (sarwata) menguntungkan (bhadra),
25.   Ashttanika wyǔha, susunan tentara yang terdiri dari 8 divisi ( assatt atau assashttanika berarti delapan)
26.   Wajra wyǔha, susunan tentara menyerupai petir (wajra) dan terdiri dari 5 divisi yang disusun terpisah-pisah satu dari yang lain,
27.   Udyâ wyǔha, susunan tentara menyerupai taman (udyânaka) yang juga disebut kâkapadi wyǔha, artinya susunan yang berbentuk kaki (padi berarti berkaki) burung kaka-tua (kâka) dengan ketentuan bahwa susunan tentara ini terdiri 4 divisi,
28.   Ardhacandrika wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bulan sabit, juga disebut ardhacandra wyǔha ; ditentukan bahwa susunan tentara ini berdasarkan atas 3 divisi,
29.   Karkâttakaҫrênggi wyǔha, susunan tentara yang berbentukkepala (ҫrêngga) udang (karkâttaka),
30.   Artisa wyǔha, susunan tentara yang serba menang (arista) dengan susunan garis depan yang ditempati oleh barisan kereta perang, barisan gajah, sedang barisan kuda menempati garis belakang,
31.   Acala wyǔha, susunan tentara yang tidak bergerak, ialah suatu susunan tentara dengan menempatkan barisan infanteri, barisan gajah, barisan kuda dan barisan kereta perang satu di belakang yang lain,
32.   Ҫyena wyǔha, susunan tentara sama dengan garudda eyǔha,
33.   Apratihata wyǔha, susunan tentara yang tidak dapat dilawan (pratihata berarti melawan sedangkan ‘a’ berarti tidak) dengan ketentuan bahwa barisan gajah, barisan kuda, barisan kereta perang dan barisan infanteri ditempatkan satu di belakang yang lain,
34.   Capa wyǔha, susunan tentara yang berbentuk busur
35.   Madhya capa wyǔha, susunan tentara yang berbentuk busur dengan inti kekuatan dibagian tengah.

Sebaliknya, di dalam kitab Kamandaka, salah satu kitab dari kesusateraan Jawa kuno disebutkan 8 macam wyǔha, ialah :

1.       Garudda wyǔha                (atau byuha), susunan tentara yang berbentuk garuda,
2.       Singha wyǔha, susunan tentara yang berbentuk singa,
3.       Makara wyǔha,  susunan tentara yang berbentuk makara (udang)
4.       Cakra wyǔha, susunan tentara yang berbentuk cakram,
5.       Padma wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bunga seroja,
6.       Wukir sagara wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bukit dan samudera,
7.       Ardhanacandra  wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bulan sabit,
8.       Wajratikshnna  wyǔha, susunan tentara yang berbentuk wajra atau petir yang tajam.

Di dalam kakawin Bhârata-Yudha disebutkan 10 macam wyǔha, ialah :

1.       Wukir sagara wyǔha (terdapat dalam transkripsi kakawin bharata-Yudha Pupuh X dan XL  2)
2.       Wajratikshnna (Pupuh X  11)
3.       Kagapati wyǔha (Pupuh XII  6)
4.       Gajendramatta atau gajamatta wyǔha (Pupuh XIII  13)
5.       Cakra wyǔha (Pupuh XIII 22 dan XV  21)
6.       Makara  wyǔha ( XIII  24 dan XXVII 2 )
7.       Sǔcimukha wyǔha dalam Pupuh XV  21)
8.       Padma  wyǔha  (Dalam Pupuh XV 22)
9.       Ardhanacandra wyǔha  (Dalam Pupuh XXVI  5)
10.   Kânanja wyǔha  (Dalam Pupuh XL  2)

Ketika perang besar antara keluarga Kurawa dan Padawa dimulai, tentara Kurawa mengambil susunan tentara wukir sagara.  Raja-raja takluk, kerajaan Hastina yang berkendaraan gajah dan kuda merupakan karang laut yang serba kokoh dan kuat, sedangkan serangan prajurit yang bergelombang itu merupakan gelombang samudera yang tiadak ada henti-hentinya.  Susunan tentara ini memerlukan memerlukan sejumlah prajurit yang banyak, bertempur dalam massa yang besar dan memiliki dinamika dan daya tempur yang tinggi, hal tersebut sebagaimana diceritakan dalam Pupuh X  17, yang menyatakan bahwa satu kereta perang diperkuat oleh 10 ekor gajah, sedangkan masing-masing gajah diperkuat oleh 10 ekor kuda dan seekor kuda diperkuat oleh 10 orang prajurit.  Massa yang banyak dengan kuda dan gajah itu menjadi bukit yang kokoh. 

Sebaliknya dalam permulaan perang ini menurut Pupuh X, 11 keluarga Pandawa mengambil susunan tentara yang disebut ‘wajratikshnna wyǔha’, artinya petir yang tajam.  Bima, Arjuna dan Srikandi merupakan ujung petir yang tajam, sedangkan putera-putera Wirata, Uttara dan Sangka, bersama-sama Setyaki serta Drestajumena memimpin pertahanan di belakang.  Yudhistira bersama-sama dengan raja lainnya, — tentunya yang dimaksud ialah Kresna, Nakula dan Sadewa bersama-sama dengan Sweta —, dalam Pupuh X  11 itu dikatakan ada di barisan tengah.  Susunan tentara yang disebutkan dalam kakawin Bharata-Yudha ini berbeda dengan apa yang disebutkan dalam serat Bratayuda Jaewa yang dipergunakan oleh J. Kats sebagai bahan penulisan bukunya.

Bersambung

P u s t a k a  :
Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto, “Kakawin Bharata-Yuddha”
Penerbit – Bhratara – Jakarta 1968

Tidak ada komentar:

Posting Komentar